Kamis, 15 Desember 2016

Perputaran Roda Kehidupan


Teriknya sinar sang mentari tak meredupkan semangat seorang laki-laki setengah baya untuk terus bekerja demi mendapatkan sesuap nasi demi kelangsungan hidup keluarganya. Berada di lautan lepas, terombang ambing oleh gelombang. Panas, terik, hujan bahkan badai tak pernah ia hiraukan.



Supardi (36), seorang nelayan sederhana yang bekerja demi memenuhi kebutuhan istri dan kedua anaknya. Setiap hari, tak perduli akan panasnya terik sang mentari, dengan pasti ia melajukan kapalnya menuju sang bahari.

Sungguh miris ketika melihat dia bersama dengan ABK (Anak Buah Kapal) nya hendak pergi untuk mulai mengais rejeki. Hanya bermodalkan tekat yang kuat serta dapat berenang, tanpa peralatan savety seperti diantaranya adalah pelampung. Bertaruh nyawa demi lembaran-lembaran rupiah.

Akan tetapi, perjuangan pak pardi dalam mengais rejeki di bahari harus ia hentikan. Pasca kecelakaan yang menimpanya dan awak kapalnya membuat ia harus berpikir ulang untuk kembali menggantungkan hidupnya di laut lepas. Bagaimana tidak? Kapal yang ia punya hancur menjadi 4 bagian kala itu karena terhempas ombak saat ia dan ABK nya hendak berlabuh.

Ditambah lagi dengan mesin kapalnya yang hilang tenggelam di dasar laut tempat ia dan ABK nya dihempas gelombang. Beruntung karena ia dan satu anak buah kapalnya selamat dalam tragedi itu.

Hancurnya kapal yang ia miliki memaksanya untuk segera pensiun dari dunia nelayan, yang tentunya membuatnya menjadi seorang pengangguran untuk sementara waktu.

Pernah suatu ketika ia tak punya uang untuk membeli beras yang akhirnya memaksanya untuk meminjam kepada tetangganya yang juga masih ada ikatan saudara agar ia dan keluarganya tak kelaparan.

 Namun bukan pinjaman beras yang ia dapatkan melaikan cemoohan.

Dengan langkah gontai dan terus berpikir, akhirnya dia pulang dengan tangan kosong kemudian duduk terdiam. Dalam benaknya ia berpikir bahwa ia harus segera memiliki pekerjaan agar keluarganya tak kelaparan.

Entah apa yang membuatnya berpikir jauh hingga sertifikat rumah. Ia tanyakan sertifikat rumah yang ia tinggali saat itu kepada sang istri sebelum kemudian merundingkan niatnya. Raut wajah tak setuju begitu nampak jela di wajah istrinya. Bukan ingin menjadi istri yang durhaka kepada suami, melainkan karena rumah itu adalah satu-satunya harta yang mereka miliki saat itu. Tapi pada akhirnya luluh juga hati sang istri dan menyetujui niat pak pardi.

Satu lembar sertifikat rumah ia jaminkan kepada bank senilai 65 juta rupiah pada keesokan harinya. Setelah dana cair, segera ia gunakan untuk merehab kolam kecil di depan rumah dan ia tebari dengan bibit udang.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Kehidupan keluarga pak pardi tak luput dari hujatan, hinaan dan cemoohan para tetangga yang selalu merendahkan mereka yang seolah memberikan batasan kasta pada keluarga. Terkadang istrinya menangis karena pedasnya cemoohan ibu-ibu tetangga yang selalu saja seolah mengintimidasinya. Tak hanya istrinya, bahkan anaknya yang masih kecil pun tak luput dari hujatan mereka. Tapi pak pardi selalu menguatkan dan meyakinkan istrinya dan kedua anaknya bahwa atas izin Allah, kehidupan mereka akan segera berubah.

Tiga bulan bukanlah waktu yang singkat untuk membuat mereka bertahan dan saling meneguhkan hati dan melapangkan dada atas segala bentuk cemoohan yang mereka terima. Dan tiga bulan pula bukanlah waktu yang singkat untuk mereka dapat tidur nyenyak. Bagaimana tidak, jika usaha mereka gagal maka pak pardi dan keluarganya tentu tak memiliki tempat tinggal lagi.

Setiap malam pak pardi bersama dengan istrinya dan anak perempuannya yang merupakan anak pertamanya yanh masih duduk di bangku SMA senantiasa memanjatkan do'a ketika orang-orang tengah tertidur dengan lelapnya. Mereka berikhtiar dan berdo'a sembari berlinangan air mata. Berharap tak ada lagi kegagalan dalam usahanya kali ini.

Tuhan maha adil, Ia telah menjawab setiap do'a yang selama ini keluarga pak pardi panjatkan. Hasil yang ia peroleh dari menekuni tambak udang benar-benar lebih dari perkiraan pak pardi sebelumnya. Sangat cukup untuk menutup hutangnya di bank, dan tentunya masih cukup banyak dana sisa dari laba yang ia peroleh dan sisa itu ia pergunakan untuk memperluas lahan untuknya menekuni di dunia tambak udang. Sebelum pada akhirnya pak pardi mengajak tetangga-tetangga yang tadinya mencemoohnya untuk ikut menekuni dunia tambak. Bermodalkan pengalaman, ia ajari mereka yang hendak berguru mengenai ilmu pertambakan. Bahkan pak pardi senantiasa memberi kemudahan kepada mereka yang ingin berusaha dan pastinya benar-benar sportif dalam menekuni usaha ini.

Sungguh, sebuah keluarga yang tadinya seolah direndahkan dan diinjak-injak keberadaannya, kini telah tersetarakan. Tak ada lagi cemoohan dan hinaan serta hujatan yang begitu menyayat hati. Kepada orang-orang yang pernah menghinanya, merendahkannya, bahkan seolah membedakan kasta antar keluarga, pak pardi tidak pernah menyimpan dendam. Justru disini pak pardi berusaha untuk terus membantu mereka dalam mengangkat tingkat perekonomian mereka.

Pernah sekali ada seseorang yang bertanya pada pak pardi kala pak pardi belum memiliki nama seperti saat ini "kenapa tidak mencoba menjadi buruh?"

Jawaban dari pak pardi pun sedikit mencengangkan, yakni "saya tidak suka bekerja terikat dengan waktu. Dan dalam pikiran saya tak pernah terbesit sedikitpun mengenai pada siapa saya bekerja. Karena dalam pikiran saya hanya tertanam bagaimana saya menciptakan sebuah peluang kerja"


-MP-
Blogger
Disqus
Tinggalkan Komentar

Tidak ada komentar

berkomentarlah yang sopan dengan menggunakan bahasa yang mudah untuk di mengerti.

Paling Populer