Senin, 13 Juli 2015

Tentang Abah Zaed

 
abah zaid


Tentang abah "sebuah muqadimah"

Abah adalah panggilan yang kami sematkan untuk guru kami K.H Zaed abdul hamid pimpinan pondok pesanten mahir arriyadi dan ishlahiyyatul asroriyyah ringinagung pare kediri pada saat saya "nyantri" disana.
Saya belum jelas mengapa beliau kami panggil abah, karena sebenarnya ringinagung adalah sebuah daerah yang berada di jawa timur dan kata"abah" adalah kata panggilan untuk orang tua yang khas dan lazim untuk daerah jawa barat atau siapa yang memulai pertama kali panggilan itu.
Secara khususnya panggilan abah memang tidak "harus" atau menjadi sesuatu yang berlaku menyeluruh bagi santri-santrinya, karena ada pula santri-santri lain yang memanggil memanggil beliau "mbah zaed" atau "yai zaed" tapi ada sesuatu yang berbeda ketika sosok KH. Zaed abdul habid yang notabene asli jawa timur justru akrab dan luwes di panggil abah oleh kebanyakan santrinya, di tengah-tengah pesantren yang berbeda di jawa timur dan kental dengan tradisi pondok pesantren yang jawatimuran.
Disaat yang sama KH. Zaed abdul hamid tidak pernah merasa keberatan untuk dipanggil abah oleh santri'santrinya, kok beliau keberatan atas dasar tidak sesuai dengan tuntunan "kitabul adab wa tradisi" jawa timuran pun tidak, atau beliau meminta diganti dengan abiy agar keakrab-akraban abba, agar sesuai dengan tatanan ilmu nahwu sharaf apalagi karena beliau guru nahwu sharaf kami, pun tidak juga,
Sepertinya beliau tidak pusing dengan predikat abah yang melekat pada namanya mungkin karena beliau mementingkan esensinya dan sekedar kekeh membahas kata abah dari banyak segi asal muasal dan tata bahasanya.
Saya sendiri justru kata abah justru merasa kata abah itu demikian pas untuk beliau,
Entah karena saya lama ikut di ndalem beliau sehingga demikian terbiasa lidah saya memanggil kata abah serasa lebih akrab dan ringan saja dihafalkan, ketimbang "kiyai" atau "romo yai" bagi saya khususnya.
Bahkan demikian dekat dan ringan lidah saya melafalkan kata abah disematkan pada beliau, tak jarang saya menyebut kata abah saat membaca hadiah fatehah untuk beliau setelah shalat, ilaa hadlarati abah....
Sejalan dengan itu di tanah sunda kata abah menunjukan bermacam makna, ada makna panggilan pada orang tua, ada makna sebaga panggilan kepada orang yang dihormati dan dituakan oleh masyarakat, ada juga sapa'an akrab pada teman.
Sejalan dengan hal itu kata abah yang desematkan pada beliau KH.zaed abdul hamid lebih memiliki nilai keakraban dan kesederhana'an ketimbang "romo kyai" atau "mbah yai" karena kata abah yang disematkan kepada beliau lebih bermakna kedekatan emosional dan keakraban bi ta'dzim seperti orang tua kita sendiri, dan demikian itulah dalam pandangan saya kepada sosok abah zaed itu.
Belia adalah sosok yang sangat sederhana dalam berpenampilan, baik dalam mengenakan pakaian kehormatan sebagai kiyai besar karena menjadi pemimpin pondok pesantren yang besar atau sebagai "orang tua" bagi murid-muridnya.
Namun demikian, beliau tidak sembrono dalam kesederhanaan itu, sebab disaat yang sama beliau adalah sosok yang "rapi dan tertib" bisa juga dibilang fashionable dalam artian nyocoki keadaan dan tidak berlebihan dalam berpenampilan.
Selain mengenakan sarung sebagai busana harian karena beliau adalah sosok kiyai,
Tapi kerap kali saya juga melihat abah mengenakan pakaian ala pak tukang ketika menemani kang dun kudus yang sedang praktek nukang,
Beliau bercelana panjang, dengan kaos santai dan tak lupa topi koboy jawanya,
Beliau tidak berkenan jika saya mengenakan pakaian tidak rapi dan cenderung compang-camping atau amburadul,
Setidaknya hal itu dibuktikan dengan bagaimana beliau mengajarkan saya cara memasang kancing baju agar di mulai dari bawah sehingga tidak salah lubang, lalu cara bagaimana mengenakan sarung agar tidak kedodoran,
Abah juga mengajari santrinya agar menyusun sendal dengan rapi ketika masuk ke sebuah ruangan, masjid, mushola atau yang lainya agar tampak rapi, memudahkan kita sendiri untuk memakainya saat keluar ruangan dan terhindar dari salah pakai sendal,
Bahkan dalam pembuatan kopi atau minuman untuk tamunya, saya sering disalahkan jika mengaduknya tidak pelan-pelan, sehingga menghasilkan bunyi benturan antara sendok dan cangkirnya atau kopinya sampai nyepret kemana-mana,!
Dari konsep kesederhana'an namun tetap dalam kerapian itu saja, sebagaiman beliau haturkan melalui sikap keseharianya seperti memberi banyak petunjuk pada santri-santrinya, bahwa dalam hidup "kesederhanaan" itu baik untuk kita, selama dalam kesederhanaan itu kita tetap rapi, tetap baik, tidak sembrono atau ngasal saja, seperti istilah yang sering beliau dawuhkan, "ngono yo ngono ning ojo ngono",!
Konsep kesederhanaan dan kerapian yang abah ajarkan itu juga terlihat dari bagaiman abah kerap kali dawuh "di toto atine" atau "atine di oneke" sambil tertawa khas beliau yang pelan dan juga sederhana, "He..... He..... He.......
Padahal bahasa sederhana " di toto atine" yang kerap kali terdengar dari dawuh-dawuh beliau sebenarnya adalah konsep yang dahsyat dan luar biasa, bukan saja untuk membangun mental spiritual ummat islan indonesia tapi juga menguntungkan pelaksananya.
Siapa sangka konsep noto ati itu pada saatnya di populerkan aa gym dengan istilah manajemen qalbu ternyata banyak di ikuti bahkan oleh kamu yang bukan dari kalangan santri.
Siapa sangka konsep "nguripe ati" itu kini menjadi sebuah terobosan bimbingan mental para karyawan, direktur dan ekonom indonesia yang di kemas dalam konsep pelatihan ESQ bahkan pelatihanya saja bisa ratusan juta biayanya dan bukan saja di indonesia, saat ini pelatihan ESQ hingga brunei dan malaysia.
Uripe ati saat ini menjadi seperti standar perekrutan karyawan bagi perusahaan-perusahaan besar, dimana di dalamnya meliputi kesadaran diri dan kecerdasan emosional,
Konsep kesederhanaan dan kerapian abah juga tampak dari bagaiman beliau menggunakan banyak metode demi metode, baik dalam pembangunan gedung madrasah dan asrama pondok, maupun metode pendidikan yang beliau terapkan pada setiap santri-santrinya,
Dengan cara sederhananya, yaitu abah selalu ngajak kita ro'an, (istilah untuk gotong royong bagi santri) mencari pasir dan batu di kali kulon pondok, dimana dari cara itu sedikit demi sedikit batu dan pasir itu terkumpul dan dari itu semua akhirnya terbangunlah madrasah bertingkat yang tinggi dan kuat untuk kepentingan bersama,
Dengan konsep yang sederhana dan rapi pula saya melihat abah melaksanakan strategi pendidikanya pada tiap-tiap individu santri yang berguru padanya, tapi justru dengan metode dan pendekatan yang sederhana itu pula ada kekuatan yang luar biasa dan menciptakan efek yang luar biasa bagi keberhasilan pembelajaranya.
Sedikit kisah berikut mengatakan dengan sendirinya, bagaimana bapak nuruddin yahdi, yang juga kakak saya pernah bercerita, bahwa diusianya yang baru menginjak 18 tahun ia mendapat perintah dari para kiyai untuk jadi pengurus pondok bersama pak isman dari blitar, mengajar pelajaran nahwu (kitab jurumiyah) di kelas V ibtidaiyah di pondok pesantren putra ringinagung, padahal siswa-siswa kelas lima pada saat itu usianya rata-rata sebaya denganya bahkan jauh diatasnya.
Hati kecil pak nurudin merasa tidak nyaman dengan tugas itu, bagaimana mungkin dirinya yang masih sangat muda harus mengajar santri-santri yang usianya jauh lebih tua.
Pak nuruddin tenggelam dalam perasaan gundah gulana,
Ada ketakutan dalam hatinya, ada rasa minder atau tidak percaya diri, tapi tak mungkin juga melawan perintah kiyai.
Saat pak nur larut dalam rasa rendah diri itulah, abah datang membawa segudang keberanian dan berkah, seolah abah tahu apa yang dirasakan pak nur, bahwa ia belum siap berada dalam jalur itu.
Dengan metode yang sederhana, abah memanggil pak nur ke kantor pusat, mengajak pak nur makan bareng dalam suasana akrab, kemudia dengan bahasanya yang hangat abah berucap, "nur yang penting dalam kamu jadi pengurus dan mengajar ngaji, niatkan itu pada mbah nawawi"
Sejak malam itu, pak nur seperti pendekar yang kembali berdiri, dengan kuda-kuda yang kuat menapak bumi, setelah sebelumnya kerasnya hantaman rasa minder dan tidak percaya diri.
Berangkat dari hal itu, maka saya ingin kita bisa berbagi kisah tentang abah dalam hal ihwal mendidik santri-santrinya dengan caranya yang sederhana, tapi mengena, setidaknya ada hikmah yang bisa kita bawa sebagai sangu (bekal) "ngurip-ngurip ati" kita.
Dalam hal ini sengaja kami kemas dalam bentuk kisah atau cerita karena untuk mengenang siapa abah dan bagaimana pemikiranya dalam sebuah buku yang tertulis secara formal dan maksimal, sejujurnya kami belum mampu melaksanakanya,
Selain itu, dengan bentuk cerita kami berharap segmen pembacanya lebih luas dan lebih menarik bagi para pecinta abah yang masih pemula...
SEMOGA BERMANFAAT.
Untuk ABAH
Seraut wajah senja
Bersemayam indah di negeri hampa
Aku yang gelisah, menempa khauf roja
Memandangmu dalam memandang-Nya
Tak kutemui apa dan bagaiman
Hanyalah cinta bertaburan
Di sepanjang jalanan
Abah
Rindu ini tak terwakilkan
Meski sebait puisi ku tuliskan
Sementara do'a demi do'a nan haru
Tak mampu keluar dari lidah ragu
Maka..
Biarkan mata menangis
Dalam tafsir yang romantis
Seiring tawassul cinta tak habis

Abah


Al-faatihah
Blogger
Disqus
Tinggalkan Komentar

1 komentar

Assalamualaikum...tulisan yg bagus tentang abah,selama ini ku cari" baru kali ini ketemu, Alhamdulillah bisa membacanya. Trima kasih. Wassalam....alumni pon pes Mahir Arriyadl

Balas

berkomentarlah yang sopan dengan menggunakan bahasa yang mudah untuk di mengerti.

Paling Populer